Yang mana layanan atau algoritma itu akan menghitung dan memberikan rekomendasi kepada investor, produk reksa dana mana yang bisa dibeli untuk mencapai tujuan keuangan yang sebelumnya diatur oleh investor, bisa dengan target jumlah dana, dan juga target waktu, bulan dan tahun, kapan dana harus terkumpul.
Masalahnya, setidaknya dari 2 aplikasi layanan reksa dana yang saya coba, saya selalu diberikan rekomendasi produk reksa dana yang memiliki expense ratio yang tinggi, ada yang 3%, bahkan ada yang lebih dari 5%.
Saya sendiri belum bisa menemukan bagaimana proses dalam pemilihan produk reksa dana tersebut, yang saya mungkin bisa lakukan adalah menebak, ini mungkin melihat dari kinerja masa lalu, dan kemudian disesuaikan dengan target yang hendak dicapai oleh investor? atau mungkin ada algoritma lain yang mengatur harus ke produk reksa dana tertentu, karena agak janggal aja memberikan rekomendasi produk yang memiliki biaya tinggi.
Ingat, fee/biaya tersebut tidak diambil dari keuntungan yang didapat dari dana yang diinvestasikan (jika ada), tapi diambil dari dana kelolaan keseluruhan yang investor investasikan ke produk reksa dana tersebut, mau untung atau rugi, manajer investasi bisa tetap mendapatkan keuntungan dari biaya yang dikenakan.
Saat ini layanan investasi tersebut belum membuka bagaimana mereka melakukan rekomendasi, mungkin belum seperti yang dilakukan oleh Wealthfront atau Betterment di luar sana, mungkin saja nanti akan dibuka, karena saya sendiri memerlukan informasi tersebut, sampai informasi itu belum ada, saya mungkin masih dalam posisi skeptis.
]]>Kali ini membahas tentang money diary, hal yang baru-baru ini saya lakukan, belum sempurna atau disiplin, tapi mencoba untuk konsisten.
Tidak hanya untuk kehidupan saja, money diary ini penting menurut saya, karena tidak hanya menuliskan uang masuk, uang keluar, mengkategorikan pengeluaran/pemasukan tersebut, apakah masuk kategori ini atau itu.
Kalau menggunakan aplikasi keuangan, bisa saja menuliskan di notes atau deskripsinya, tetapi kadang karena terlalu pendek, sehingga tidak merepresentasikan keadaan pikiran, perasaan yang ada.
Apa pemicu, latar belakang, atau perasaan yang dialami ketika kita mengeluarkan uang tersebut, apakah spontan, apakah karena emosi sesaat atau bagaimana.
Terdengar rumit untuk “hanya” mengeluarkan uang? mungkin dipermukaan seperti itu, tapi ada hal yang lebih dari sekadar itu.
Dengan menuliskan money diary, kita belajar untuk mengenal diri sendiri, tipe seperti apakah kita dalam menghadapi masalah keuangan, apa yang terlintas di kepala kita ketika melakukan hal tersebut?
Makin kita coba untuk menuliskan apa yang terjadi, kita makin tau karakter kita sendiri, apalagi ketika berhadapan dengan uang, dan bagaimana hubungan kita dengan uang.
Baca: Hubungan pola asuh terhadap perilaku keuangan
January 21, 2023 membeli kopi kenangan dengan harga 29rb, membeli kopi ini karena sedang menunggu, suka kopi sih, tapi membeli kopi ini karena gabut, jadi beli aja biar ada camilan atau minuman yang bisa dikonsumsi sambil menunggu.
Apakah minum kopi ini dibutuhkan? kayaknya nggak juga, mungkin juga ada dorongan impulsif, kalau menunggu harus minum kopi.
Apakah beli kopi ini mengganggu cashflow? sepertinya tidak, karena ada alokasinya untuk belanja hal seperti ini, jadi tidak sampai mengganggu tabungan, atau bahkan investasi.
Tetapi sepertinya kalau gabut ga perlu semuanya harus membeli kopi ya!
Hmmm… apa ini kepanjangan untuk “cuman” beli kopi? mungkin, tetapi dari diary ini, saya tahu keputusan saya membeli kopi karena apa, karena gabut, dan juga bosan, sambil menunggu, makanya beli kopi.
Baca: Membuat keputusan-keputusan keuangan yang terkadang bisa membuat kita stress
Dan dari cerita itu, apakah membeli kopi bisa menggangggu keuangan? saat ini tidak, tetapi kalau selalu diteruskan kebiasaan ini, bisa menjadi bahaya, bisa jadi nantinya akan berubah menjadi hal lain, “sambil nunggu kita ke departemen store dulu ah, liat-liat” yang mungkin ujung-ujungnya beli hal yang tidak diperlukan, dan ada reinforcer lain seperti, “mumpung di sini”, “wah lumayan diskon nih”.
Hal ini juga berlaku tidak hanya untuk sifatnya pengeluaran konsumtif, bisa juga untuk kalau kita memutuskan untuk melakukan investasi, tesis apa yang mendasari kita melakukan investasi tersebut, atau kenapa kita membeli saham/reksa dana tersebut, apakah jangka panjang atau jangka pendek.
Melakukan reasoning dan challenge diri sendiri, hal ini membantu kita (setidaknya saya) dalam mendewasakan keputusan-keputusan yang dilakukan, bukan bermaksud untuk overthinking, atau mempermasalahkan hal “kecil” yang sekadar membeli kopi 29 ribu.
]]>Baca: Kinerja masa lalu tidak menjamin kinerja di masa mendatang
Dalam investasi, ada sedikit persamaan dengan cerita di atas, kita mencari aset yang memiliki sejarah kinerja yang bagus, kalau bisa, yang terus naik, dan bisa memberikan imbal hasil ke investornya, dan pencarian ini adalah hal yang wajar dilakukan.
Sekarang kita kembali ke tujuan investasi yang kita lakukan, investasi pada dasarnya mengharapkan imbal hasil dari dana yang diinvestasikan, bisa dalam bentuk dividen, capital gain (kenaikan nilai investasi), atau format imbal hasil lain, baik di masa kini, atau masa depan, kuncinya di kata, masa depan, kita berharap mendapatkan hasil di waktu depan yang tidak bisa kita ketahui pasti, tidak bisa diprediksi.
Baca: Ketika melihat grafik kinerja produk investasi reksa dana
Dan terkadang, sebagai investor, kita terjebak terhadap sejarah kinerja masa lalu dari suatu aset atau produk investasi, melihat kinerja masa lalu yang luar biasa, dan berharap (tinggi harapannya), aset tersebut akan terus sukses memberikan imbal hasil yang sama tinggi atau bahkan berharap bisa lebih dari yang sudah-sudah.
Kondisi mengejar kinerja masa lalu bisa berbahaya bagi investor, karena kita menjadi terlalu fokus terhadap masa lalu.
Baca: Mencari dan berinvestasi di produk reksa dana yang kinerjanya bagus
Misalkan aset emas, sebelum pandemi harganya terhitung masih tidak terlalu tinggi, tetapi ketika pandemi, harga emas langsung loncat dan sekarang bisa dibilang diangka stabil-nya, mau naik atau turun tidak begitu signifikan, tapi jika kita beli sekarang, dan berharap akan memiliki kinerja yang tinggi, dengan imbal hasil yang tinggi seperti pada awal pandemi, hal itu bisa dibilang tidak kejadian, atau agak sulit untuk mendapatkan imbal hasil yang sama.
Hal ini juga berlaku untuk produk reksa dana, saham, pada masa tahun dari sekian ke sekian bisa naik sekian persen, tapi apakah bisa terulang, tidak ada yang tahu.
Jangan menjadikan kinerja masa lalu ini satu-satunya indikator untuk keputusan beli aset, karena banyak hal lain yang bisa kita pertimbangkan, dari analisa fundamental terhadap produk tersebut, aset-aset yang didalamnya, komposisi aset (jika reksa dana/etf), dan juga pertimbangkan biaya admin pengelolaan jika ada.
Investasi dengan sabar dan konsisten menjadi kunci, tetapi tetap melakukan pekerjaan rumah kita, melihat sesekali kinerjanya, melakukan riset, jangan sampai sudah beberapa tahun malah jadinya buntung, karena itu adalah uang yang kita dapatkan dengan bekerja.
]]>Baca: Investasi reksa dana dengan ‘uang receh’ di BIBIT
Fitur bibit yang menurut saya masih unggul dibanding dengan layanan lain salah satunya dukungan untuk bisa membuat banyak portofolio, yang mana portofolio tersebut bisa dinamai sesuai dengan tujuan yang dimaksud, dengan cara ini secara psikologis, investor bisa lebih disiplin dalam investasi.
Investor bisa memiliki banyak portfolio yang isinya terserah pengguna, atau disetting oleh robo, dan juga bisa mengatur target yang diharapkan dari portofolio tersebut.
Untuk yang belum punya Bibit bisa gunakan referral saya ya! kita bisa dapat kick cashback 25.000
, lumayan buat nambah-nambah portofolio.
Kode referral Bibit dedenf786
, lihat kode referral lainnya.
Ini fitur bisa dibilang fitur yang umum, tapi tidak banyak aplikasi yang menyediakan fitur ini, masih banyak yang menampilkan produk investasi seluruhnya, paling dibedakan dari jenis reksa danyanya saja, dan bibit juga sudah menyediakan template untuk membuat portofolio ini, pengguna bisa membuat portofolio khusu untuk kebutuhan sekolah misalkan, menikah, ibadah dan lain-lain.
Baca: Memilih Manajer Investasi untuk produk reksa dana dan ETF
Dan terbukti dengan memberi nama atau membuat tujuan yang sama dengan nama portofolionya, biasanya investor bisa lebih disiplin dan rajin dalam mewujudkan mimpinya.
Hal ini dimungkinkan, investor bisa membuat portofolio yang isinya hanya obligasi saja misalkan, atau hanya sahan saja, bisa juga, atau hanya gabungan RDPU dan RDPT saja, dan juga tetap bisa mengatur target dana dan juga nabung rutin terhadap aset investasi yang dimiliki.
Baca: Untuk yang tidak mau pusing dalam investasi
Dalam membangun portofolio di Bibit, investor bisa mengatur target capaian dari portofolio yang dimaksud, capaian dalam bentuk angka, atau capaian dalam bentuk tahun, butuh berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai target investasi sekian, dan juga diinformasikan berapa jumlah yang harus diinvestasikan setiap waktu.
Baca: Hal yang bisa kita kontrol ketika berinvestasi (saham, etf, atau reksa dana)
Hal ini sangat berguna agar menjadi acuan dan pijakan kita dalam melakukan investasi setiap kali kita membeli aset.
Di Bibit hal ini dimungkinkan, misalkan ingin memindahkan satu produk reksa dana saham dari portolio bernama Pensiun ke portofolio bernama Pendidikan, jika kebetulan ada produk yang sama sebelumnya maka akan digabungkan, unit-unit kepemilikan reksa dana tersebut akan dihitung ulang untuk mendapatkan nilai rata-rata.
Jika belum ada produk tersebut, akan menambahkan produk tersebut di dalam portofolio tersebut, jadi bisa saja ada 2 produk reksa dana saham di kategori saham dalam satu portofolio.
Bibit masih menjadi favorit saya karena ada fitur tambahan yang sejauh ini saya tidak temukan di layanan lain, informasi seperti antara lain, drawdown, CAGR (compounded annual growth rate) dan expense ratio, yang mana informasi ini sangat berguna untuk menentukan keputusan membeli produk reksa dana apa.
]]>Bisa dibilang, semua tinggal pilih, bayar, bahkan ada yang sudah mengintegrasikan Paylater, sederhananya pinjam uang dulu, yang dengan harapan bisa dibayar nanti.
Makin mudah, bukan?
Nah, sekarang bandingkan dengan cara-cara untuk bisa mendapatkan uang/penghasilan/pemasukan? bisa terpikir cara-caranya gak?
Baca: Membuat keputusan-keputusan keuangan yang terkadang bisa membuat kita stress
Kalau kita runut, kita bekerja mendapatkan gaji/upah, dan itu bisa jadi harian, mingguan atau bulanan, hitung itu sebagai satu sumber penghasilan, untuk yang wiraswasta, meski bisa saja tidak menentu, tapi anggap saja mirip, ada penghasilan yang didapat.
Setelah itu? apalagi? freelance? side job? ada berapa yang bisa mendapatkan hal ini? baik kesempatan ataupun waktu untuk mengerjakannya?
Tentu saja itu pertanyaan rhetoric, tidak perlu dijawab, tapi perlu dipikirkan, betapa mudah kita untuk mengeluarkan uang, banyak sekali caranya, tapi untuk menghasilkan uang? sedikit sekali.
Baca: Tujuan keuangan berbeda
Di sini diperlukan cashflow, manajemen uang, dan disiplin, hal yang tidak mudah, orang-orang banyak yang berjuang di sini, tak terkecuali saya.
Mudah-mudahan kita semua bisa lebih bijak dalam membelanjakan uang kita, dan diperbanyak juga sumber penghasilan, jadi tidak mengandalkan hanya satu saja.
]]>Nah, aplikasi-aplikasi pencatatan keuangan yang ada saat ini, setidaknya yang dirilis di Indonesia, dan yang akan dibahas di artikel ini memiliki fitur untuk terkoneksi dengan bank-bank yang ada di Indonesia, tidak semua, tapi bank-bank cukup dikenal didukung koneksinya dan juga layanan keuangan lainnya seperti e-Wallet.
Aplikasi yang saya install saat ini antara lain,
Mencoba membuka akun di sana, saat ini sih belum sampai menghubungkan aplikasi tersebut dengan layanan keuangan yang didukung di aplikasinya, misalkan Investasiku, Pina, Sribuu, Finku bisa dihubungkan dengan myBCA/BCA Mobile, dan dengan menghubungkan dengan aplikasi itu, aplikasi tersebut bisa mencatat pemasukan dan pengeluaran yang ada di akun BCA, atau jika menghubungkan dengan aplikasi OVO, Gopay, juga akan mengeluarkan histori transaksi.
Aplikasi-aplikasi ini tidak hanya mencatat pengeluaran/pemasukan, tetapi juga bisa digunakan sebagai aplikasi budgeting, misalkan pengeluaran yang ada di OVO atau BCA bisa dimasukkan ke dalam kategori yang sudah dibuat sebelumnya di aplikasi tersebut.
Saat ini saya belum mencoba secara dalam, untuk koneksi layanan keuangan baru satu aplikasi yang saya hubungkan dengan Bareksa, dan bahkan ada yang bisa terhubung dengan saldo BPJSTK.
Hal ini yang saya juga ingin tahu, bagaimana cara aplikasi-aplikasi ini menjamin keamanan data penggunanya, terutama yang berkaitan dengan akun perbankan.
Tentunya hal ini perlu ada edukasi terhadap penggunanya, bagaimana proses yang dilakukan, tidak cuman menginformasikan data dienkrip, pertanyaan susualn seperti data dienkrip ketika apa? apa end-to-end dari transmit sampai on-rest semuanya tidak ada yang bisa buka kecuali si pemegang akun, dan solusi ini tidak murah.
Mungkin nanti akan saya cari tahu, pakai metode apa layanan-layanan ini dalam mengamankan data penggunanya.
]]>Tapi ternyata tidak berjalan dengan baik, dimulai dengan bootloop, handphone berulang kali restart, sampai akhirnya menyerah dan mati sama sekali.
Tidak ada cara lain, harus punya handphone baru dan (mudah-mudahan) bisa tahan lama, setidaknya bisa tetap relevan dalam 3 tahun ke depan.
Handphone ini bisa digunakan untuk bekerja dan juga untuk kebutuhan sehari-hari, komunikasi, konsumsi media, dan lainnya.
Pilihan jatuh pada handphone yang terhitung flagship, mahal, iya. Dan ini yang meninggalkan lubang di cashflow.
Dan yang terjadi, dengan membeli handphone tersebut, karena di toko yang saya mau beli tidak menyediakan cicilan 0%, karena tidak mendukung kartu kredit tertentu, jadinya harus cash keras, karena tidak memiliki uang sebanyak itu yang likuid, dan ini bisa dibilang darurat, akhirnya mengambil dari dana darurat, dan menambahkan kekurangannya.
Baca: Mempersiapkan Dana darurat
Di sini berasa sekali kegunaan dana darurat, dana yang bisa digunakan kita sebagai keluarga jika ada hal yang darurat tanpa mengharuskan pinjam, atau mencairkan deposito, atau bahkan menjual aset finansial yang dimiliki.
Yang dilakukan berikutnya tentunya mengisi kembali dana darurat tersebut, dan mudah-mudahan tidak ada kebutuhan lain sampai harus mengeluarkan dana darurat.
]]>Baca: Harus benar dua kali
Seberapa efektif atau tepatkah sinyal yang disediakan oleh perusahaan broker tersebut? spoiler, tidak ada yang tahu, bisa jadi tepat, bisa jadi tidak, apakah tepat karena bisa memperkirakan masa depan, atau murni beruntung? lagi-lagi, tidak ada yang tahu.
Baca: Memiliki akun broker lebih dari satu?
Saya pernah membahas, bisa saja perusahaan broker yang merekomendasikan saham mungkin saja sudah punya posisi terhadap saham tersebut (sudah beli ketika harga bawah/atas), dan mencoba membuat pengaruh ke pasar, barangkali investor retail mau untuk beli dan harga bisa naik.
Dari hasil penelitian sotoy dan tentunya sangat tidak ilmiah, saya mengumpulkan data yang didapat dari broker yang merekomendasikan saham-saham ini, dan melihat ada yang benar, tapi lebih banyak yang tidak, dan meski tepat tebakannya, kapan waktu melakukan eksekusi atas saham tersebut, baik jual atau beli, tidak ada yang tahu.
Baca: Cara memilih broker
Karena memang tidak ada yang bisa menebak kemana arah pasar, dan untuk menebak, harus benar dua kali, ketika beli dan ketika jual.
Baca: Pasar, bursa saham, ketidak masuk akalan dan semua isi yang ada di pasar saham
Dalam pemilihan saham atau aset, ada baiknya melakukan analisa saham sendiri, kalau bisa tentunya dan tidak bergantung pada “sinyal” yang terkadang datang dari group chat yang kadang tidak jelas, dan seperti memiliki kepercayaan diri, padahal bisa jadi masuk perangkap.
]]>Baca: Mencoba menebak arah pasar
Tapi apakah kita bisa memperkirakan kapan harga tersebut sudah paling bawah, dan kita bisa beli, dan pertanyaan berikutnya kapan kita jual? karena kita harus benar dua kali.
Baca: Harus benar dua kali
Pertanyaan ini sepertinya sulit untuk dijawab, atau bahkan mungkin tidak bisa dijawab, karena tidak ada yang tahu pasar akan bergerak bagaimana, apalagi gerakan saham secara individu.
Baca: Pasar, bursa saham, ketidak masuk akalan dan semua isi yang ada di pasar saham
Faktor fear, greed, atau mungkin market maker sedang “iseng” membuat offer atau bid yang bisa membuat harga satu saham bergerak naik atau turun.
Di dalam buku yang baru saya baca, Just Keep Buying, Nick Magguilli, membagi DCA dalam 2 tipe, DCA yang dalam skenario dimana misalkan kita memiliki 100 juta, kemudian mencoba menyebar uang tersebut misalkan setiap bulan kita investasi sebesar 10 juta, selama 10 bulan, dan satu lagi DCA yang mana kita memiliki uang, dari gaji misalkan, dan menginvestasikan uangnya setiap bulan.
Baca: Dollar Cost Averaging, investasi dengan mencicil
Dari dua skenario di atas, terlihat sama, tapi sebenarnya berbeda.
Banyak riset yang menunjukkan kalau dengan metode lump sum (menginvestasikan semua dana sekaligus) lebih menguntungkan dibanding dengan DCA, tetapi riset ini banyak yang tidak realistis, secara umum, tidak banyak orang yang memiliki 100 juta bebas, atau menunggu dulu terkumpul 100 juta baru melakukan investasi.
Jika memang memiliki 100 juta, dari jual mobil, rumah, atau apapun, memang sangat disarankan untuk langsung menginvestasikan dana tersebut, dan dalam buku Just Keep Buying tersebut, secara data, memang tidak disarankan melakukan DCA seperti skenario pertama, jadi, lakukan lump sum.
Untuk yang tidak memiliki uang sebesar itu, DCA tetap lebih baik, jika kita dapat gaji bulanan, kita investasikan uang tersebut setiap bulannya, secara rutin, berinvestasi dengan cara “mencicil”.
Baca: Hal yang bisa kita kontrol ketika berinvestasi (saham, etf, atau reksa dana)
Di sini DCA bisa menjadi lebih baik daripada lump sum dengan menunggu uang kumpul dulu, karena konsistensi menjadi kunci dalam keberhasilan investasi dan juga tujuan keuangan yang kita miliki.
Baca: Index Investing (investasi Pasif)
Dan untuk menghindari tebak-tebakan saham mana yang akan naik (atau turun), saya pribadi lebih memilih membeli indeks, dalam bentuk ETF, yang mana indeks akan berisi saham-saham yang ada didalam indeks yang dimaksud, jadi, kita membeli saham secara borongan yang dikemas dalam satu produk, ETF (bisa kunjungi blog investasietf.com untuk pendekatan saya terhadap produk ETF).
]]>Baca: Mencari dan berinvestasi di produk reksa dana yang kinerjanya bagus
Hal ini wajar, karena pergerakan pasar, terutama pergerakan saham, tidak ada yang tahu secara pasti, yang bisa kita lihat hanya dengan melihat ke belakang, melihat secara historis.
Baca: DCA vs Serok bawah dan faktor keberuntungan dalam investasi saham
Apakah saham, reksa dana atau ETF, atau produk investasi lainnya akan memiliki kinerja yang sama? tidak.
Baca: Hal yang bisa kita kontrol ketika berinvestasi (saham, etf, atau reksa dana)
Ada banyak faktor yang mempengaruhi kinerja, bisa dari berita tentang perusahaannya, kebijakan pemerintah, ekonomi dalam suatu negara itu, dan bisa juga pengaruh dari luar yang bisa mempengaruhi sentimen pasar lokal, yang berujung pada pasar bereaksi terhadap sentimen tersebut.
Baca: Belajar untuk bisa nyaman dan terbiasa dengan volatilitas pasar
Dan belum lagi dengan pasar yang irasional, bisa saja bergerak berlawanan arah dengan logika, contoh kasus ketika awal pandemi, pasar sempat jatuh, tapi bisa kembali lagi, bahkan cenderung bullish, padahal masih pandemi, yang secara logika harusnya orang-orang pada memiliki kekhawatiran, tapi tidak, pasar bergerak naik saat yang terkena covid juga naik.
Baca: Hiruk Pikuk dan Hingar Bingar Pasar
Agar tidak terkena pengaruh pasar, cara yang terbaik, setidaknya menurut saya, tetap berinvestasi, dollar cost averaging (DCA), atau investasi dengan cara mencicil, tidak melakukan market timing, nebak-nebak saat yang tepat untuk masuk membeli saham, yang secara statistik tidak selalu akan tepat, meski misalkan kita beli pada saat pasar jatuh (tepat), tapi kita juga harus benar dua kali, benar saat beli, dan benar saat jual, yang mana itu sangat sulit untuk bisa benar keduanya.
Baca: Index Investing (investasi Pasif)
Cara lain bisa dengan membeli ETF atau index, bisa index saham, bisa index obligasi, komoditi atau lainnya, kinerja investasi kita akan mengikuti index tersebut.
]]>