Ada yang bilang bahwa perilaku narsistik manusia merupakan hal yang umum, yang mana hampir semua orang punya karakteristik ini, yang membedakannya apakah akan menampilkannya atau tidak, dan jika menampilkan seberapa ekstrem, sejauh apa perilaku ini diperlihatkan.
Baca: Hubungan pola asuh terhadap perilaku keuangan
Dengan kondisi yang sudah ada sebelumnya, kemudian muncul yang bernama media sosial.
Pada zaman dahulu, untuk memamerkan hal ini agak sulit, harus ada satu acara, di sini orang memakai apa yang bisa dipamerkan, ke keluarga, kolega dan lainnya, agak repot, tapi bisa memuaskan hasrat pamer.
Baca: Membangun pola pikir positif terhadap uang
Sedangkan sekarang, orang bisa pamer, atau bahasa sekarang Flexing, dengan apa yang dimiliki bisa membuat postingan di Instagram, Facebook, Twitter, TikTok atau apapun media yang bisa upload suatu media, photo, video.
Dari perilaku ini, orang seperti mencari validasi, mencari pengakuan bahwa saya mampu membeli ini itu, saya bisa memakai barang atau makan di tempat yang mahal seperti influencer-influencer yang sering dilihat di media sosial, jadi kelas hidup, gaya hidup saya sudah sejajar dengan orang-orang itu, bukan?
Ini balik lagi ke diri sendiri, apa iya?
Kehausan validasi ini bisa dibilang manusiawi, karena kita memang makhluk sosial, dan ada kecenderungan kita ingin sama dengan lingkungan sosial yang kita pikir adalah lingkungan sosial kita, atau ring 1 kita, dan kita menganggap influencer tersebut adalah lingkungan sosial kita, dan kecenderungan kita untuk meniru orang yang kita pikir role-model untuk kita merupakan hal yang normal, terlepas keadaan ekonomi dan keuangan kita saat ini.
Baca: 3 Tempat yang cocok untuk menyimpan dana darurat
Masalah mulai muncul ketika kita membiayai validasi-validasi ini dengan uang yang kita dapatkan dengan susah payah, dan mengorbankan tabungan, investasi, kita meminjam uang kita di masa depan. Atau yang lebih parah, kita membiayainya dengan cara meminjam, ada yang meminjam dari bank, pinjol, KTA, demi agar bisa membeli tas bermerk internasional, untuk photo, atau untuk dibawa ketika bertemu dengan teman, yang intinya tetap “butuh” flexing.
Flexing bisa menjadi toxic, toxic untuk psikologis kita, dan juga keuangan kita, hal ini bisa merusak rencana keuangan yang kita buat, atau bahkan sebelum kita buat, uang gaji hanya sekadar lewat, dan malah bisa menjadi minus.
Hidup kita yang menjalani adalah kita, dan hanya kita, kita tidak perlu ada validasi dari orang lain, tidak perlu menyamakan diri dengan orang lain, meski terdengar sederhana, dengan uang yang kita dapatkan/punya, kita tabung dan investasikan, dan juga alokasikan untuk kebutuhan-kebutuan kita, dan sebisa mungkin hidup sehemat mungkin tapi jangan lupa juga untuk bahagia!.